
Para
santriawati korban pemerkosaan oknum ustaz Herry Wirawan di
Pondok Pesantren Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru ternyata juga dipaksa jadi kuli bangunan proyek pondok pesantren tersebut.
Tak hanya itu, uang bantuan dari Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban juga diambil oleh Herry Wirawan.
Parahnya lagi, bayi-bayi hasil hubungan biologis dengan korban ia sebut sebagai anak yatim piatu ke sejumlah tetangga dan rekan sejawatnya.
Tak jarangh ia pun mengumpulkan donasi dengan cara menggalang dana untuk membiayai bayi-bayi hasil perbuatannya tersebut.
Sejumlah warga pun sempat curiga dengan 8 bayi tersebut. Pasalnya, wajah bayi-bayi tersebut mirip dengan Herry Wirawan.
"Dan Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban juga diambil pelaku . Salah satu saksi memberikan keterangan bahwa ponpes mendapatkan dana BOS yang penggunaannya tidak jelas, serta para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru," ucap Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI Livia Istania DF Iskandar, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/12/2021).
Menurutnya, dalam melakukan aksinya, para korban ditempatkan dalam sebuah rumah yang dijadikan asrama Ponpes MN.
"Pelaku kemudian membujuk rayu anak didiknya hingga menjanjikan para korban akan disekolahkan sampai tingkat universitas," ucapnya.
LPSK menduga adanya eksploitasi ekonomi dalam kasus pencabulan belasan anak pesantren oleh HW, guru pesantren di Bandung.
Untuk itu, LPSK mendorong Polda Jabar untuk mengungkapkan dugaan penyalahgunaan tersebut.
"LPSK mendorong Polda Jabar juga dapat mengungkapkan dugaan penyalahgunaan , seperti eksploitasi ekonomi serta kejelasan perihal aliran dana yang dilakukan oleh pelaku dapat di proses lebih lanjut," Perlindungan.
Dikatakan, saat ini LPSK memberikan perlindungan kepada 29 orang (12 orang di antaranya anak di bawah umur) yang terdiri dari pelapor, saksi dan/atau korban dan saksi saat memberikan keterangan dalam persidangan dugaan tindak pidana persetubuhan terhadap anak.
Sidang itu menghadirkan terdakwa HW yang merupakan pemilik Ponpes MN yang digelar di PN Kota Bandung dari tanggal 17 November sampai 7 Desember 2021.
"Dari 12 orang anak di bawah umur, 7 di antaranya telah melahirkan anak pelaku," katanya.
Rangkaian perlindungan ini diberikan untuk memastikan para saksi dalam keadaan aman, tenang dan nyaman saat memberikan keterangan agar dapat membantu majelis hakim dalam membuat terang perkara.
Saat memberikan keterangan di persidangan, para saksi dan/atau korban yang masih belum cukup umur didampingi orangtua atau walinya.
"LPSK juga memberikan bantuan rehabilitasi psikologis bagi korban serta fasilitasi penghitungan restitusi yang berkasnya siap disampaikan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Pengadilan Negeri Bandung. LPSK juga memberikan bantuan layanan medis saat salah satu saksi korban menjalani proses persalinan di RS," ucapnya.
LPSK memberikan apresiasi kepada semua pihak yang bersinergi dalam penyelamatan, pengungkapan perkara ini hingga pemeriksaan saksi dan/atau korban telah selesai dijalankan, yaitu:
1. DP3AKB dan UPTD PPA Provinsi Jawa Barat yang telah melakukan langkah awal dalam memberikan pendampingan korban dan memberikan laporan kepada LPSK RI.
2. Polda Jabar yang melakukan gerak cepat dalam melakukan penangkapan pelaku
3. Kejaksaan Tinggi Jabar yang fokus dalam pengungkapan kasus ini. LPSK berharap Majelis Hakim dapat memberikan hukuman yang adil bagi pelaku.
"Bahwa pengungkapan perkara ini adalah wujud nyata negara hadir sejalan dengan kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (25 November-10 Desember 2021)," ucap Livia.
Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar) Uu Ruzhanul Ulum, mengungkap sosok Herry Wirawan (36) pelaku pemerkosaan 12 santrinya. Dari aksi bejat tersebut, 7 santri melahirkan 9 bayi.
Uu mengaku mendapatkan informasi sosok pelaku dari sejumlah jaringan pesantren di Jawa Barat. Dia berharap, masyarakat luas tidak menyamaratakan semua guru agama punya perilaku serupa. Menurut dia para orangtua tak perlu takut menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren.
Uu menyebut, dari hasil penelusurannya, pelaku memang pernah menempuh pendidikan di pondok pesantren. Namun memang pelaku punya track record buruk.
"Ternyata memang saya bertanya kepada orang- orang yang kenal dia. Dia memang pernah pesantren tapi ga benar terus dia berperilakunya tidak sama dengan komunitas pesantren yang lainnya," kata Uu dalam siaran persnya, Kamis (9/12).
Lebih lanjut, Uu menjelaskan, pengawasan terhadap anak yang sedang mondok di pesantren perlu dilakukan orang tua. Dengan begitu, orang tua dapat memantau perkembangan anak. Juga mengecek kondisi mulai dari kesehatan fisik, mental, dan hal lainnya.
"Pesantren saya ada libur setahun dua kali. Orangtua boleh menengok perkembangan anak di pesantren. Sehingga terpantau pendidikan, kesehatan, dan lainnya tidak cukup dengan telepon," kata Uu.
Selanjutnya, orang tua perlu ekstra hati-hati sebelum anaknya dititipkan di pesantren. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan mulai dari biaya, fasilitas, metode belajar, asal usul pendidikan guru, pendiri, yayasan, hingga legalitas lembaga yang berdiri.
Dia menambahkan, orang tua bisa memilih sekolah yang sudah terbukti menghasilkan lulusan berkualitas. Bisa saja dengan melihat tetangga, kerabat, atau testimoni dari lulusan yang sudah pernah menempuh pendidikan di suatu lembaga.
"Kemudian juga kita harus mewaspadai seandainya ada pesantren- pesantren yang aneh-aneh. Dari pendidikannya, perilaku, dan lainnya, jangan sampai orang tua ini memberikan anak kepada pesantren tetapi tidak tahu latar belakang lembaga tersebut," kata pemilik pesantren Miftahul Huda di Jawa Barat.
Uu juga meminta yayasan pesantren rutin memonitor setiap kegiatan di sarana pendidikannya. Selanjutnya agar lebih selektif memilih tenaga pengajar.
"Saya juga minta kepada pimpinan pesantren harus ada pemantauan ketat terhadap para pengajar ustaz/ustazah, asatid/asatidah termasuk pengurusan yang lain," tegas Uu.
Soal pengawasan di tingkat Provinsi, Uu menyebut, sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Perda ini mengatur dari pembinaan, pemberdayaan, serta pembiayaan di lingkungan pesantren. Beleid ini menjadi payung hukum tersendiri agar pengawasan lebih ketat.
"Kami diminta tidak diminta sebagai pemerintah daerah kepada seluruh lembaga pesantren untuk melaksanakan pembinaan, tapi bukan berarti kami merasa menggurui," ujarnya.
Terakhir, Uu mendorong agar aparat setempat di level desa/kelurahan juga selalu memonitor setiap kegiatan publik yang berada di wilayah kewenangannya, termasuk kegiatan pendidikan.